Kisah R e b e l Masa Kecil

Jeda Ngaji
2 min readJun 13, 2021

--

Mungkin agak berlebihan kalo dikatakan rebel. Sekedar supaya keren saja judulnya.

Aku tulis kisah masa kecilku ini karena menurutku cukup berkesan dan eman-eman kalau sampai terlupakan. Masa kecil yang ku habiskan di sebuah desa terpencil di Purbalingga. Hidup dalam keluarga yang tidak kaya, tidak terlalu miskin juga. Yang unik, entah kenapa benih pemikiran anti kemapanan sudah muncul sejak SD. Aku lupa tepatnya kelas berapa. Padahal tak pernah ku baca buku-buku Tan Malaka, apalagi Karl Marx. Mentok cuma buku ensiklopedia di perpustakaan sekolah.

Cerita bermula saat suatu hari seseorang bercerita padaku. Dia bilang bahwa tanda akhir zaman adalah pasar di desaku dibangun besar-besaran. Diceritakan bahwa kelak akan ada seorang anggota keluarga yang pergi berbelanja ke pasar. Namun entah kenapa setelah seharian, ia tak kunjung pulang. Anggota keluarga yang lain pun khawatir dan memutuskan untuk menjemputnya ke pasar. Tapi kemudian ia pun ikutan hilang. Begitu terus sampai seluruh warga desa hilang seluruhnya. Terdengar absurd bukan? Tapi imajinasi masa kecilku benar-benar berkuasa. Aku percaya bahkan sampai tahap overthinking. Dan benar saja, apa yang diceritakan seseorang itu terjadi juga. Seorang saudagar dari kota membeli pasar di desaku. Pembangunan pun dilakukan dan menghabiskan dana hingga miliaran.

Singkat cerita, pasar selesai dipugar. Benih pemikiran itu masih ada dan terus tumbuh di benakku. Suatu hari sepulang sekolah, ku ceritakan kisah itu pada sahabatku. Ia percaya saja, bahkan ekspresinya ikut berapi-api. Muncul ide untuk “meneror” pasar . Pikir kami, ramalan itu harus digagalkan. Jangan sampai kejadian buruk menimpa warga desa kami. Kisah rebel pun dimulai. Setiap pulang sekolah, kami lempari atap-atap di pasar dengan menggunakan batu kerikil. Kadang kita ludahi tembok pasar. Supaya apa? Entahlah, mungkin pada saat itu bagiku adalah bagian dari perjuangan. Bahkan kadang sepulang main sepakbola, kami sempatkan melempar batu. Sudah hampir jadi adat kami. Sampai pada suatu waktu, ada preman pasar yang mendapati kelakuan kami. Sontak kami pun lari terbirit-birit sampai dirasa aman.

Segitu saja yang bisa aku ceritakan. Dari kisah ini, aku sudah lupa kapan tepatnya pemikiranku mulai luntur. Mungkin seiring berjalannya waktu, aku mulai bisa menikmati hasil pembangunan pasar. Mulai dari beli jajanan yang semakin banyak macamnya, hingga beli mainan yang dulu tak pernah ada. Singkat kata, kami sudah larut dalam kemajuan dan akhirnya lupa pada idealisme lama. Kami ikut jadi penikmat.

--

--