KPK: The End Game?

Kamis, 10 Juni 2021

Jeda Ngaji
4 min readJun 11, 2021

Malam tadi selepas nge-lab saya mengikuti acara nobar dan diskusi film KPK: The End Game. Acara ini diselenggarakan oleh PMII Komisariat Jenderal Soedirman sebagai salah satu dari puluhan titik penyelenggara acara nobar di Indonesia. Memang beberapa kali Watchdoc mendistribusikan karyanya kepada khalayak umum melalui nobar, di samping melalui kanal YouTube tentunya.

Film ini disutradarai oleh Dhandy Laksono, seorang jurnalis senior yang sekarang terjun dalam pembuatan berbagai film dokumenter di bawah naungan Watchdoc. Melalui beberapa film besutannya, dia memang kerap melancarkan kritik ataupun narasinya kepada pemerintah. Mulai dari isu lingkungan hingga politik di negeri ini. Termasuk melalui film ini.

KPK: The End Game, sebuah film dengan judul yang sepertinya terinspirasi dari film The Avengers ini lebih berfokus pada wawancara dengan pegawai KPK yang kena pecat akibat tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Katanya sih tes wawasan kebangsaan, tapi nyatanya tidak begitu. Salah satu penyidik mengatakan bahwa apa yang disampaikan oleh pimpinan KPK bahwa mereka akan mengikuti TWK tidaklah benar. Nyatanya mereka malah mengikuti tes yang berbeda dengan TWK pada umumnya. Banyak terdapat pertanyaan yang dinilai aneh dan tidak sepatutnya ditanyakan, seperti “Anda pilih quran atau Pancasila?".

Banyak hal yang disajikan film tersebut semakin menguatkan dugaan bahwa KPK memang sedang dilemahkan. Mulai dari pemilihan calon pimpinan KPK yang bermasalah, dalam hal ini Firli Bahuri. Firli terbukti pernah melakukan pelanggaran etik berat sebelum memperoleh jabatan ketua. Hal itu pernah secara resmi dinyatakan oleh pihak KPK sendiri melalui konferensi pers pada 11 September 2019. Namun nyatanya fakta tersebut seakan dimentahkan begitu saja oleh DPR, justru Firli sekarang malah mendapatkan jabatan itu.

Sebagai anak kandung reformasi, posisi KPK memang menjadi yang terdepan dalam penanganan kasus-kasus korupsi di Indonesia. Ketidakpercayaan rakyat terhadap kepolisian pada saat itu menjadi salah satu pemantik lahirnya lembaga tersebut. Sebuah amanat yang berat sekaligus vital. Memang KPK, sebagaimana lembaga negara lainnya tidak terlepas dari kemungkinan adanya pelanggaran ataupun penyimpangan. Narasi bahwa ada Taliban di tubuh KPK pun digembor-gemborkan oleh beberapa pihak. Hal semacam itu yang kemudian dijadikan dalil perlu adanya perubahan di dalam KPK. Melalui TWK, Firli menyisir para pegawai KPK yang dianggap tidak pancasilais. Sejumlah 51 pegawai yang tidak lolos dianggap sudah tidak bisa ditolerir lagi dan harus didupak dari KPK. Hal yang sangat kontradiktif jika melihat rekam jejak Firli. Hal ini juga berdampak pada terhentinya beberapa penyidikan kasus yang sedang ditangani oleh pegawai non aktif tersebut.

Sebenarnya masih banyak lagi hal-hal absurd yang seakan hanya sebatas dramaturgi belaka. Menurut Hariyadi S.Sos.,M.A., PhD, dosen Fisip Unsoed yang menjadi pemantik diskusi malam tadi, pelengseran sebagian pegawai KPK hanyalah permasalahan mikro dari grand design upaya pelemahan pemberantasan korupsi di Indonesia. Ya, sebetulnya yang kita bela bukan sekedar KPK, tapi adalah upaya pemberantasan korupsi di Indonesia, ini 2 hal yang berbeda. Jika KPK sebagai alat utama sudah disusupi oleh kepentingan pihak luar, maka kepercayaan terhadap lembaga ini pun bukan tidak mungkin akan menurun atau bahkan lenyap. Inilah dilematika yang menurutnya perlu dipahami agar kita tidak salah posisi dalam empati kita terhadap KPK. Namun dia juga menilai bahwa pemberhentian sejumlah pegawai KPK tersebut belum tepat jika dikatakan sebagai The End Game, sebagaimana fokus yang diusung film ini. Perlu berbagai informasi dan pihak tambahan yang dapat memberikan gambaran besar pelemahan KPK.

Di samping mengulik konten dalam film KPK: The End Game, Hariyadi juga menyampaikan kritiknya dari segi konseptual. Film dokumenter yang tergolong ke dalam jenis ekspositori tersebut menurutnya masih mengandung ambiguitas dan akhir yang menggantung. Dinilai ambigu karena narasi yang ditampilkan di awal kurang didukung dengan wawancara yang dilakukan. Di akhir film hanya ditampilkan pegawai KPK non aktif dari segi personal kehidupannya. Narasi kuat di awal namun kurang dipungkasi dengan mantap.

Ada hal lain yang menarik, dalam sebuah pernyataan, Presiden Jokowi pernah menghimbau agar TWK tidak dijadikan dasar pemberhentian pegawai KPK. Namun legitimasi hanya sekedar formalitas belaka. Walaupun memang presiden dalam hal ini tidak bisa mengintervensi namun menjadi pertanyaan, “Jika sekelas presiden saja tidak didengarkan, bagaimana kita yang hanya rakyat jelata?”. Menurut Hariyadi, ada satu teori dalam sosiologi yang cukup menggelitik tapi sering terjadi. Teori tersebut mengatakan bahwa jika kita ingin meramalkan apa yang akan terjadi pada pemerintahan secara umum, lihatlah pernyataan presiden, yang akan terjadi adalah kebalikannya.

Terlepas dari kritik tersebut, saya memberikan respek dan apresiasi yang tinggi kepada Dhandy dan tim. Perlu keberanian yang tinggi untuk membuat film semacam ini. Yang dia hadapi bukan sekedar satu-dua manusia tapi banyak elit di Indonesia. Kita sudah tahu resiko jika berhadapan dengan mereka. Harapan saya, semoga Dhandy dan tim diberikan panjang umur untuk terus menguak sisi kelam bangsa ini dan menyerukan kebenaran yang semakin hari semakin membagongkan saja.

--

--